Di tengah maraknya pemberitaan vaksin buatan China yang akan diujicobakan di Indonesia dan vaksin Merah Putih produksi Lembaga Eijkman di Indonesia, dua peneliti Indonesia, ada kabar lain soal vaksin dari Inggris. Satria Arief Prabowo dan Indra Rudiansyah, ikut mengembangkan dua vaksin terpisah di Inggris, suntik dan oral, untuk Covid 19 yang diharapkan dapat diumumkan hasilnya pada September 2020 ini dan Juni tahun depan. Indra yang terlibat dalam penelitian di Universitas Oxford, sebelumnya melakukan penelitian vaksin malaria sementara Satria, bersama koleganya di London School of Hygiene and Tropical Medicine, mengembangkan vaksin oral untuk tuberkulosis sebelum ikut mengembangkan vaksin Covid 19.
Vaksin suntik yang dikembangkan Universitas Oxford telah memasuki fase tiga dan disebut para peneliti universitas itu pada bulan September ini dapat diproduksi massal. Sementara vaksin oral berbentuk tablet, yang tengah dikembangkan, menurut Satria juga akan berjalan di Ukraina, China, Inggris dan Mongolia. "Untuk uji klinis fase ketiga yang akan melibatkan ribuan partisipan, direncanakan akan dimulai pada tahun depan dan target kami pada pertengahan 2021 sudah bisa didapatkan indikasi bahwa vaksin ini akan dapat bekerja sesuai harapan," kata Satria, yang menjadi konsultan klinis Immunitor, perusahaan farmasi yang mengembangkan berbagai vaksin.
Hasil memuaskan dalam uji vaksin TBC, kata Satria, yang membuat tim peneliti, mengharapkan hasil serupa pada vaksin Covid 19. "Vaksin oral yang telah kami ujikan untuk penyakit TBC dengan menggunakan vaksin V7 atau Tubivac yang dikembangkan oleh Immunitor, dengan hasil yang memuaskan dalam uji klinis fase tiga, dengan terapi TBC dipersingkat dari enam bulan menjadi satu bulan." "Harapan kami tentunya untuk mendapatkan hasil yang serupa untuk vaksin oral Covid 19, tambah dokter lulusan Universitas Airlangga, Surabaya ini. Ia menyelesaikan gelar doktor dalam bidang pengembangan vaksin dari London School of Hygiene & Tropical Medicine pada 2018, saat usianya 25 tahun.
Indra mengatakan ada sejumlah mahasiswa doktoral dari negara negara lain yang ikut dalam penelitian vaksin ini. Di Universitas Oxford, uji klinis dengan melibatkan ratusan sukarelawan dimulai April lalu, dan saat ini jumlah sukarelawan diperbanyak untuk tahap terakhir. Indra mengatakan ketika wabah virus corona mulai menyebar, ia ikut mendaftarkan diri untuk terlibat dalam pengembangan vaksin Covid 19 Januari lalu.
Indra melakukan apa yang disebutnya sebagai, "uji respons imun antibodi yang dihasilkan para sukarelewan yang telah divaksinasi." "Penelitian vaksin covid 19 ini cukup menantang karena kita berpacu melawan waktu sehingga pekerjaan bersifat sangat dinamis. Seringkali protokol yang digunakan di update berdasarkan hasil yang didapat sehingga kita harus selalu mengejar dengan perkembangan scientific information yang beredar agar hasil yang didapat maksimum," cerita Indra.
Selain Indra, ada sejumlah mahasiwa doktoral lain yang terlibat, termasuk dari Meksiko, Australia dan dari Inggris sendiri. Tim yang menganalisa respons antibodi terdiri dari sembilan orang, dari sekitar 300 anggota tim Universitas Oxford. "Kebanyakan mahasiswa yang terlibat, seperti saya, sebetulnya memiliki proyek sendiri untuk tesisnya. Saya sendiri sebenarnya melakukan penelitian vaksin malaria. Namun dalam kondisi pandemik ini, para mahasiswa diperbolehkan terlibat dalam penelitian covid 19 ini," tambahnya.
Ia mengatakan terlibat dalam beberapa pengembangan vaksin lain seperti rotavirus dan polio sebelum melanjutkan program doktoral di Universitas Oxford ini. "Namun ini pertama kalinya saya terlibat dalam pengembangan vaksin untuk pandemik di mana pandemik tersebut sedang berlangsung. Tentu saja protokol keamanan semakin diperketat mengingat kita tetap harus menerapkan jaga jarak di laboratorium, menjadi tantangan tersendiri dalam bekerja dengan vaksin ini," tambah Indra.
Sementara Satria Arief Prabowo mengatakan awal keterlibatannya menjadi konsultan di Immunitor bermula melalui profesor yang menjadi penulis pakar dalam makalah tentang vaksin TBC. "Prof. John L Stanford dari University College London, yang memperkenalkan saya dengan Immunitor. Dari konsep tersebut kami berhasil membuat vaksin oral untuk Tuberkulosis bersama Immunitor yang telah selesai uji klinis fase tiga akhir tahun lalu," cerita Satria. "Sehubungan dengan pandemi Covid 19 yang muncul awal tahun ini, kami mencoba menerapkan platform vaksin oral ini untuk Covid, yang memiliki kemiripan dengan Tuberkulosis yaitu sama sama menyerang saluran pernafasan. Tentunya untuk vaksin oral Covid 19 juga perlu melalui uji klinis fase satu, dua sampai tiga," lanjutnya.
Satria juga mengatakan Immunitor, yang telah memiliki perjanjian dengan Universitas Airlangga, juga merencanakan "melaksanakan uji klinis di Surabaya." "Harapannya dalam waktu dekat, kami juga akan dapat melaksanakan uji klinis di Surabaya. Saat ini proses pengembangan vaksin bersama Institute of Tropical Disease (ITD), Unair sedang dalam tahap persetujuan etis yang membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu sampai sebulan. Setelah itu, siap diuji klinis," pungkasnya. (*)